Kemunculan wacana golput membuat banyak kalangan kalang kabut. Bagaimana media mengambil perannya?
Pernyataan sikap Remotivi atas pemberian medali kebebasan pers pada Presiden Joko Widodo pada Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019.
IndonesiaLeaks membawa temuan berharga dalam upaya pengentasan korupsi. Sayangnya, liputan media membuatnya jadi drama sinetron.
Sebuah kisah tentang kegagalan jurnalisme: ketika desas-desus dianggap setara dengan fakta dengan dalih keberimbangan.
Media kerap menunggangi arus populisme Islam dan politik identitas untuk mengeruk klik. Apa ongkos yang harus dibayar?
Jelang pemilu 2019, pemerintah kian rajin mencipta gelembung-gelembung persepsi semisal, “BBM satu harga di seluruh Indonesia”, “angka kemiskinan terendah sepanjang sejarah”, dan lainnya. Namun, seperti halnya gelembung, klaim-klaim ini besar tapi kosong.
Debat kusir antara Fadli Zon dan Tsamara yang mendapatkan tanggapan dari media Rusia adalah kesempatan kita belajar tentang propaganda gaya baru.
Pernyataan Prabowo bahwa Indonesia akan bubar pada 2030 merupakan salah satu contoh dari narasi ketakutan (fearmongering) yang marak digunakan dalam media dan politik.
Jokowi mengatakan demokrasi kita hari ini telah kebablasan. Sialnya, solusi yang ia tawarkan justru kebablasan.
Tanggal 8 November, stasiun televisi menayangkan liputan khusus terkait pernikahan putri Joko Widodo secara berlebihan. Sekali lagi, frekuensi publik digunakan untuk kepentingan privat.
Di tangan jurnalisme bergaya ala infotainment, peristiwa politik diubah jadi tontonan yang menghibur.
Pidato Anies Baswedan dipermasalahkan karena menggunakan kata “pribumi”, yang sesungguhnya adalah taktik retorika politik “peluit anjing”. Kenapa pemilihan kata dan retorika politik tersebut bermasalah?