Lagi-lagi WhatsApp menjadi kanal viralnya sebuah berita palsu; kali ini tentang isu penculikan. Kenapa kanal pesan singkat ini begitu sering menyemai hoaks?
Sebuah kisah tentang kegagalan jurnalisme: ketika desas-desus dianggap setara dengan fakta dengan dalih keberimbangan.
Masyarakat sering salah paham tentang informasi saintifik. Sementara rubrik sains di media sering diperlakukan sebagai infotainment belaka.
Demi membuat percaya pembaca, situs-situs penyebar kebencian mengemas omong kosong seolah karya jurnalistik. Dengan cara apa mereka melakukannya?
Maukah media-media yang dulu ikut mempopulerkan Dwi Hartanto mengakui kesalahan dan meminta maaf?
Banyak kalangan menyayangkan hilangnya “kebenaran” dalam media kontemporer. Tapi, apakah pernah ada “era kebenaran” dalam media kita?
Menjamurnya hoax punya hubungan erat dengan pesatnya teknologi komunikasi. Bagaimanakah ini bisa terjadi?
Menjamurnya hoax punya hubungan erat dengan pesatnya teknologi komunikasi. Bagaimanakah kita mesti menyikapinya?
Dewan Pers meluncurkan program verifikasi perusahaan pers untuk memberantas hoax. Sebuah langkah keliru yang berlandaskan logika keliru.
Hoax, di luar dari apa dan siapa yang mendalanginya, adalah manifestasi dari perlawanan atas kapitalisasi informasi. Alih-alih memberantas, barangkali yang kita butuhkan adalah merehabilitasi hoax.